Keumalahayati: Laksamana Perempuan Pertama dari Aceh yang Menggetarkan Dunia
Oleh: Syahrul Ramadhan, S.Pd.I., Gr
(Guru SKI pada MAS Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya)
“Di tengah gelombang besar abad ke-16, ketika samudra menjadi medan perebutan kekuasaan bangsa-bangsa Eropa, dari Aceh lahirlah sosok perempuan tangguh bernama Keumalahayati. Sebagai laksamana laut pertama di dunia, ia memimpin armada Inong Balee, menggetarkan penjajah, dan mengukir sejarah keberanian yang abadi.”
Pendahuluan
Sejarah Indonesia mencatat banyak kisah heroik dari para pahlawan yang berjuang mempertahankan tanah air. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Nusantara pernah memiliki seorang laksamana perempuan yang memimpin armada perang laut. Dialah Laksamana Keumalahayati, pejuang tangguh dari Aceh pada abad ke-16. Ia bukan hanya simbol keberanian perempuan, tetapi juga lambang kejayaan Kesultanan Aceh dalam menguasai perairan strategis Selat Malaka.
Ilustrasi sosok Malahayati dengan pakaian kepahlawanan, latar kapal perang Aceh atau laut.
Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Malahayati
Latar Belakang Kehidupan
Keumalahayati lahir di Aceh pada paruh kedua abad ke-16 dari keluarga bangsawan Aceh. Ayahnya adalah pejabat tinggi kesultanan, sementara kakeknya, Laksamana Mahmud Syah, dikenal sebagai panglima laut. Dari lingkungan ini, ia tumbuh dengan jiwa kepemimpinan dan keberanian.
Sejak muda, Malahayati menempuh pendidikan militer di Ma’had Baitul Maqdis, akademi militer Aceh yang mengajarkan ilmu navigasi, strategi perang, dan kepemimpinan. Pengalaman ini menjadi bekal berharga bagi perjuangannya kelak, bekal ini menjadikannya salah satu perempuan paling berpengaruh dalam sejarah militer Nusantara.
Peran dalam Kesultanan Aceh
Malahayati mengabdi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589–1604). Saat itu, Kesultanan Aceh sedang berada di puncak kejayaan, sekaligus menghadapi ancaman bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda yang berusaha menguasai perdagangan rempah di Selat Malaka.
Dalam situasi kritis ini, Malahayati dipercaya menjadi panglima armada laut Aceh. Ia kemudian membentuk pasukan perempuan yang dikenal dengan nama Armada Inong Balee, beranggotakan para janda syuhada perang. Dengan kekuatan ini, Malahayati menjaga perairan Aceh sekaligus menunjukkan bahwa perempuan juga mampu tampil di garis depan perjuangan, tidak hanya menjaga Aceh, tetapi juga mempertahankan kedaulatan nusantara di laut internasional.
Armada Inong Balee
Armada Inong Balee bermarkas di Teluk Lamreh, Aceh Besar, tidak jauh dari Krueng Raya. Pasukan ini diperkirakan beranggotakan ribuan perempuan tangguh yang siap mengorbankan jiwa raga demi membela tanah air.
Kehadiran mereka menimbulkan rasa segan sekaligus gentar di kalangan musuh. Armada Inong Balee menjadi bukti bahwa kekuatan perempuan Aceh tidak hanya terbatas di ranah domestik, tetapi juga mampu mengguncang lautan internasional.
Setelah kehilangan suaminya di medan perang, Keumalahayati tidak larut dalam kesedihan. Sebaliknya, ia justru mengobarkan semangat baru dengan membentuk Armada Inong Balee — pasukan laut yang beranggotakan para janda syuhada Aceh. Nama Inong Balee sendiri berarti “perempuan yang ditinggal mati suami.”
Pasukan ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi benar-benar menjadi kekuatan militer yang tangguh. Diperkirakan Inong Balee beranggotakan lebih dari 2.000 prajurit perempuan yang terlatih. Mereka memiliki markas di Teluk Lamreh, Aceh Besar, dan dari sanalah mereka mengatur strategi, melakukan patroli laut, hingga mengawasi perairan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan vital.
Di bawah kepemimpinan Malahayati, Armada Inong Balee tampil sebagai kekuatan baru yang disegani. Dengan taktik gerilya laut yang cerdas, mereka berhasil memukul mundur armada-armada Portugis dan Spanyol yang mencoba menguasai jalur perdagangan. Keberadaan pasukan ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh tidak hanya berperan di balik layar, tetapi juga mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan bangsa.
Armada Inong Balee sekaligus menjadi bukti bahwa dalam sejarah Nusantara, perempuan memiliki peran yang luar biasa dalam bidang militer dan politik. Keberanian mereka menjadi teladan hingga hari ini bahwa perjuangan tidak mengenal batas gender.
Perjuangan di Laut
Keberanian Malahayati tercatat dalam berbagai pertempuran melawan bangsa Eropa. Salah satu yang paling terkenal adalah pertempurannya dengan armada Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Dalam pertempuran sengit itu, de Houtman disebut-sebut tewas melawan armada Aceh di bawah komando Malahayati.
Peristiwa ini membuat bangsa Belanda semakin hati-hati dalam menghadapi Aceh. Selain sebagai panglima perang, Malahayati juga dikenal piawai dalam diplomasi. Ia pernah memimpin perundingan dengan utusan Belanda, termasuk Jacob van Neck, untuk menuntut ganti rugi atas tindak kejahatan bangsa Eropa terhadap rakyat Aceh.
Sebagai laksamana, Malahayati memegang kendali atas armada laut Aceh ketika gelombang kolonialisme mulai mengancam kawasan Nusantara. Portugis, Spanyol, dan Belanda berlomba-lomba menguasai Selat Malaka karena jalur ini adalah nadi perdagangan internasional. Malahayati dengan tegas berdiri di garis depan untuk mempertahankan Aceh dari serangan tersebut.
Melawan Portugis dan Spanyol
Sejak pertengahan abad ke-16, Portugis telah menjadikan Malaka sebagai basis kolonial mereka. Ancaman semakin besar ketika Spanyol ikut memperluas pengaruh dari Filipina. Malahayati bersama pasukan Inong Balee rutin melakukan patroli laut, menghadang kapal-kapal musuh, dan melindungi pedagang yang berlabuh di pelabuhan Aceh. Strateginya yang lincah membuat Portugis dan Spanyol segan melintas tanpa perhitungan.
Pertempuran dengan Belanda
Puncak ketangguhan Malahayati terjadi pada tahun 1599. Armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman berusaha menjalin hubungan dagang dengan Aceh, namun sikap mereka yang arogan memicu konflik. Malahayati memimpin langsung pasukan Inong Balee dalam pertempuran laut besar. Dalam pertempuran tersebut, Cornelis de Houtman tewas, sementara armada Belanda mengalami kekalahan telak. Kemenangan ini menggemparkan dunia Eropa karena dipimpin oleh seorang laksamana perempuan.
Gugurnya Sang Laksamana
Namun perjuangan panjang itu akhirnya menuntut pengorbanan. Pada tahun 1606, Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Meski demikian, warisan keberaniannya tetap hidup. Semangat juangnya menginspirasi Aceh untuk terus melawan penjajahan hingga berabad-abad berikutnya.
Warisan Sejarah & Penghormatan
Malahayati wafat sekitar tahun 1606 dan dimakamkan di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Makamnya terletak di atas bukit yang menghadap ke laut—seolah menjadi simbol pengabdian sepanjang hayatnya sebagai pejuang samudra.
Penghormatan terhadap dirinya terus berlanjut hingga kini:
- Pada 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Malahayati.
- Namanya diabadikan pada Universitas Malahayati di Bandar Lampung.
- KRI Malahayati (362), kapal perang TNI Angkatan Laut.
- Nama jalan di berbagai kota besar di Indonesia.
- Terbitnya prangko edisi pahlawan nasional bergambar Malahayati.
Meski telah gugur pada tahun 1606, nama Keumalahayati tetap abadi dalam ingatan bangsa. Warisan perjuangan dan kepemimpinannya di laut menjadi bagian penting dari sejarah Aceh dan Indonesia. Makamnya kini menjadi situs bersejarah sekaligus tempat ziarah yang ramai dikunjungi. Pemerintah telah menetapkannya sebagai cagar budaya, agar generasi penerus dapat mengenang jasa-jasa sang laksamana perempuan.
Makam Malahayati di bukit Krueng Raya, Aceh Besar
Nilai dan Inspirasi dari Malahayati
Kisah perjuangan Keumalahayati tidak hanya relevan sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai sumber nilai yang dapat dijadikan teladan hingga kini. Ada beberapa hal penting yang bisa dipetik dari perjalanan hidupnya:
1. Kepemimpinan Perempuan yang Visioner
Malahayati membuktikan bahwa kepemimpinan tidak ditentukan oleh gender. Ia berani mengambil peran besar sebagai laksamana, memimpin ribuan pasukan, dan membuat keputusan strategis yang menentukan arah perjuangan Aceh.
2. Keberanian dan Ketegasan
Sebagai panglima, ia turun langsung ke medan perang, menghadapi armada kolonial yang jauh lebih modern. Keberaniannya dalam pertempuran, termasuk saat menumpas Cornelis de Houtman, menjadi simbol ketegasan seorang pemimpin sejati.
3. Keteguhan Hati dalam Ujian
Meski kehilangan suami di medan perang, Malahayati tidak menyerah. Ia justru menjadikan duka itu sebagai semangat untuk membangkitkan kekuatan baru melalui pasukan Inong Balee. Hal ini mengajarkan bahwa ujian hidup dapat menjadi titik balik menuju kekuatan.
4. Inspirasi bagi Generasi Muda
Semangat Malahayati mengajarkan pentingnya cinta tanah air, keberanian menghadapi tantangan, dan kesetiaan menjaga martabat bangsa. Bagi generasi muda Indonesia, kisahnya adalah pengingat bahwa perjuangan harus dilandasi oleh tekad, kecerdikan, dan keberanian moral.
Penutup
Laksamana Keumalahayati adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Dengan keberanian, kecerdikan, dan kepemimpinan yang kuat, ia mampu menegakkan kedaulatan Aceh di laut sekaligus memberikan inspirasi lintas zaman.
Perjuangannya melawan penjajah Portugis, Spanyol, hingga Belanda menunjukkan bahwa cinta tanah air mampu mengalahkan segala keterbatasan. Warisan nilai dari Malahayati tetap relevan hingga kini: keberanian menghadapi tantangan, kepemimpinan yang adil, serta semangat pantang menyerah demi kebenaran.
Laksamana Keumalahayati adalah pahlawan perempuan yang
mengukir sejarah besar di lautan Nusantara. Dari Aceh, ia menegakkan kedaulatan
bangsa di hadapan penjajah Eropa. Warisannya bukan hanya milik rakyat Aceh,
tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia.
Kini, ketika namanya dikenang sebagai Pahlawan Nasional, Malahayati tetap hidup
dalam ingatan kita sebagai simbol keberanian, kepemimpinan, dan pengabdian
tanpa batas demi tanah air.
Referensi
Alfian, Teuku Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh
1873–1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Alfian.
(1999). Peranan dan Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ali, Fachry. Sejarah Aceh: Dari Sultan
Iskandar Muda hingga Kontemporer. Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing, 2017.
Djajadiningrat,
Hoesein. (1982). Kesultanan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636).
Jakarta: Balai Pustaka.
Hasjmy,
A. (1977). 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan
Bintang.
Kemendikbud
RI. (2017). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/2017 tentang
Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Lubis, Nabilah. Malahayati: Laksamana Perempuan Muslim. Jakarta:
Gramedia, 2013.
Sitepu, A. Pahlawan Nasional Laksamana Malahayati. Jakarta:
Direktorat Sejarah, 2017.
Situs
Resmi Museum Aceh & Situs Cagar Budaya Lamreh, Aceh Besar.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
0 Komentar
Terima kasih atas komentar yang Anda berikan, akan menjadi masukan dan akan kami tinjau kembali untuk perbaikan.